Lalu kenapa kita semua, makhluk yang belum tercerahkan, tidak mampu melihat karakteristik anatta? Karakteristik apa pun, baik itu anicca, dukkha maupun anatta, tidak jelas terlihat ketika objek tidak diperhatikan dengan baik dan benar karena mereka masing-masing tersembunyi oleh sesuatu. Karakteristik anicca tidak akan dipahami apabila tidak memperhatikan dan tidak memenetrasi “kemunculan-kelenyapan” (udayabbayānaṃ amanasikārā appaṭivedhā) yang tersembunyi oleh kesinambungan. Sementara itu, karakateristik dukkha tidak akan dipahami apabila tidak memperhatikan dan tidak memenetrasi tekanan terus-menerus yang tersembunyi oleh gerak-gerik tubuh (iriyāpatha). Sedangkan karakteristik anatta tidak terlihat jelas karena tidak memperhatikan dan tidak memenetrasi pemisahan ke dalam elemen-elemen (nānādhātuvinibbhoga).
Kita harus benar-benar mengenali ciri dari tiga karakteristik universal untuk fenomena batin dan jasmani tersebut. Karakteristik anicca bisa dipahami dalam konteks segala fenomena menjadi “tidak ada setelah ada,” seperti pada saat benda kesayangan kita terjatuh dan pecah kemudian kita akan berkata, “Oh… anicca.” Sedangkan ciri dukkha mudah dipahami seperti pada saat seseorang yang terjatuh dan merasakan kesakitan berkata, “Oh… dukkha!” Dua karakteristik ini lebih mudah terlihat dibandingkan dengan karakteristik yang ketiga, yaitu anatta. Faktanya, dua karakteristik tersebut bisa diketahui dengan atau tanpa kemunculan Buddha. Sebaliknya, karakteristik anatta hanya diketahui pada saat ada Buddha. Dengan kata lain, ajaran spiritual di luar Buddhasāsana juga mengajarkan karakteristik anicca dan dukkha tetapi tidak untuk anatta. Apabila ajaran-ajaran tersebut juga mengajarkan anatta maka para pengikutnya akan mampu untuk memenetrasi Empat Kebenaran Mulia melalui pengetahuan Jalan dan Buah. Karakteristik anatta adalah wilayah Buddha yang maha mengetahui.
Inilah mengapa Nibbāna hanya bisa direalisasi oleh para Buddha dan murid-murid-Nya. Walaupun demikian, hubungan tiga karakteristik universal sangatlah erat. Seseorang bisa memahami anatta dengan merenungkan karakteristik anicca. Misalnya, apabila seseorang menganggap bahwa tubuh adalah atta—dikarenakan tubuh adalah fenomena yang muncul-lenyap dan senantiasa berubah—maka dia seharusnya juga menganggap atta-nya muncul-lenyap dan senantiasa berubah. Tentu saja pendapat seperti ini tidak bisa dipertahankan.
Karakteristik anatta bisa dipahami dengan menggunakan pendekatan dukkha. Apabila tubuh jasmani adalah atta maka seseorang akan bisa memerintahkannya untuk tidak sakit atau menjadi seperti yang dia inginkan. Akan tetapi karena anatta maka tubuh jasmani mengalami sakit dan tidak bisa diperintah sesuai dengan yang diinginkankan oleh orang tersebut.
Karakteristik anatta juga bisa dipahami dengan menggunakan pendekatan anicca dan dukkha, “Tubuh jasmani tidak kekal; apa pun yang tidak kekal adalah penderitaan; apa pun yang penuh penderitaan adalah anatta; apa pun yang anatta bukanlah milikku, bukan “aku” dan bukan “diri”ku.”
Sumber: Ashin Kheminda, Manual Abhidhamma Bab II, Dhammavihārī Buddhist Studies, Jakarta. Hlm.256 - 257. Buku-buku terbitan DBS dibagikan gratis dan bisa dipesan di sini: bit.ly/DBSbook