Di dekade kedua usianya, pemuda ini merasa kehidupan tidaklah semudah yang dia bayangkan. Dunia terasa begitu asing. Lalu dia memutuskan untuk menekuni praktik kebatinan. Tempat-tempat angker seperti makam dan hutan di pulau Jawa menjadi pilihannya untuk bertapa. Awalnya terasa sulit karena dicekam oleh rasa takut. Namun setelah sadar bahwa itu hanyalah ciptaan dari pikirannya, rasa takut pun hilang.
Saat bertapa di Alas (hutan) Ketonggo di Ngawi, Jawa Timur, seorang pertapa mengenalkan Buddhisme kepadanya dan mengajarinya cara meditasi dengan menggunakan objek kasiṇa api. Berkat latihan inilah, pemuda ini untuk pertama kalinya merasakan perasaan damai dan bahagia yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Kemudian dia tekun bertapa selama satu tahun lebih di Alas Ketonggo. Di sana dia membantu gurunya untuk membangun dan merawat cetya yang menjadi tempat tinggal mereka.
Semakin hari dia semakin tertarik dengan Buddhisme dan memutuskan untuk memperdalam ilmunya di Thailand, tetapi karena tidak bertemu dengan guru yang cocok, pemuda ini kemudian pergi ke Dharamsala, India untuk belajar Buddhisme aliran Tibet. Langkah kaki membawanya ke Myanmar, di mana dia ditahbiskan oleh Ven. Jatila Mahāthera menjadi bhikkhu dan diberi nama Ashin Kheminda. Beliau belajar meditasi selama satu tahun dan kemudian melanjutkan kuliah di The International Theravāda Buddhist Missionary University (ITBMU). Pada tahun 2008, Ashin Kheminda dianugerahi medali emas sebagai lulusan terbaik. Mata kuliah favoritnya adalah bahasa Pāḷi dan Abhidhamma.
Ashin Kheminda kemudian diundang ke Singapura untuk mengajar meditasi dan Abhidhamma selama 4 tahun sambil menempuh pendidikan Magister di the Postgraduate Institute of Pali and Buddhist Studies dan lulus pada tahun 2012. Sejak kepulangan dari Singapura hingga hari ini, Ashin Kheminda aktif membabarkan Dhamma di berbagai kota di Indonesia. Salah satu kelas Dhamma beliau yang banyak digemari adalah Abhidhamma Made Easy.
Di tahun 2015, sempat timbul keinginan untuk berhenti mengajar pariyatti demi menekumi paṭipatti. Akan tetapi atas permohonan dari beberapa umat, pada tanggal 1 Oktober 2015, beliau kembali mengajar dan mendirikan Dhammavihārī Buddhist Studies yang mengusung konsep A One Stop Dhamma House.
Tekad untuk kembali mengajar didorong oleh semangat Ashin Kheminda untuk memopulerkan Tipiṭaka dan juga kitab-kitab komentarnya (pariyatti). Alasannya adalah karena tolak ukur kelanggengan sāsana (ajaran Buddha) adalah pariyatti; bukan paṭipatti (meditasi) atau paṭivedha (penebusan Empat Kebenaran Mulia). Seseorang yang bijaksana, setelah mendengarkan pariyatti akan mampu berlatih dengan baik guna merealisasi Empat Kebenaran Mulia.
Menyadari masih kurangnya buku-buku Dhamma yang bersumber pada Tipiṭaka dan kitab-kitab komentarnya, Ashin Kheminda pun mulai menulis dan sudah menghasilkan beberapa buku. Ceramah-ceramah beliau juga bisa dinikmati melalui DVD atau akun Youtube DBS. Beliau berharap Dhamma bisa tersebar luas demi kebahagiaan makhluk yang mendengarkannya.