No.23/I/Apr/2019
103) Demikianlah, kami mengetahui hal ini. Inilah sebab keenam untuk keruntuhan. “Beritahukanlah yang ketujuh, Begawan. Apakah sebab untuk keruntuhan?”
104) “Seorang yang membanggakan status sosialnya, membanggakan kekayaannya dan membanggakan silsilahnya, memandang rendah sanak-keluarganya; inilah sebab untuk keruntuhan.”
Di sebab keruntuhan yang ketujuh, yang dimaksud dengan seorang yang membanggakan status sosialnya adalah seorang yang memunculkan kesombongan dengan pikiran, “Saya adalah orang yang berhasil (“ahaṃ jātisampanno”ti).” Dikarenakan oleh kekayaannya, seseorang merendahkan orang lain dengan pikiran, “Dia ini orang gelandangan yang miskin.”
Orang seperti itu sangat angkuh dan tidak mau merendahkan dirinya di hadapan siapa pun. Penjelasan ini berlaku juga untuk seseorang yang membanggakan kekayaan dan silsilahnya. Hati-hati dengan kesombongan seperti ini karena bisa menjadi sebab-sebab munculnya kehancuran/keruntuhan di dalam kehidupan.
Di dalam kehidupan ini kita masih saja dapat bertemu dengan orang-orang yang memandang rendah sanak keluarganya sehingga hubungan dia dengan keluarga menjadi tidak baik. Bila ada saudara yang mau berkunjung ke rumah, malah buru-buru menghindar agar tidak bertemu dengan alasan apa pun.
Dalam hal memandang rendah sanak-keluarga oleh karena status sosial, ada satu kisah yang terekam di kitab komentar yang sangat bagus dan dramatis yaitu kisah antara para Sakya dengan Viḍūḍabha.
Sombong dengan status sosialnya, sombong dengan kekayaannya, sombong dengan silsilah keluarganya, merendahkan sanak keluarganya, semua ini mempunyai ciri yang sama yaitu kesombongan.
Sumber: Ashin Kheminda, Buku Kompilasi Ceramah tentang SUTTANTA 1, Dhammavihārī Buddhist Studies, Jakarta, 2019. Hlm 66-75