Nāvā Sutta

16 Sep 2019

No. 38/III/Sept/2019

Nāvā artinya perahu. Perahu-perahu, di sini, hanyalah istilah yang dipakai oleh Buddha di Sutta ini untuk menjelaskan Dhamma. Sutta ini juga dikenal sebagai khotbah tentang Dhamma (Dhammasutta).

Bagaimanakah awal-mulanya? Sutta ini disampaikan berkenaan dengan Y.A. Sāriputta Thera.

Sebelum membahas isi Sutta ini, mari kita mengulas secara ringkas riwayat tentang dua murid Buddha yang terkemuka atau yang terbaik (aggasāvakā), yang merupakan tangan kanan dan kiri Buddha yaitu Y.A. Sāriputta dan Y.A. Mahāmoggallāna. Keduanya adalah murid kepala.

Kisah tentang Upatissa dan Kolita
Dikisahkan bahwa sebelum kemunculan Begawan, setelah memenuhi pāramī untuk 1 asaṅkheyya 100.000 eon, dua aggasāvakā lahir di alam surga (devaloka) yaitu tepat di satu kehidupan sebelum lahir sebagai Y.A. Sāriputta dan Y.A. Mahā Moggallāna.

Tidak jauh dari Rājagaha terdapat sebuah desa, yang menjadi “milik” (bhoga) para brahmana, yang bernama Upatissagāma atau desa Upatissa. Di desa Upatissa tersebut ada seorang gāmasāmino (penguasa desa) dari kasta brahmana yang bernama Vaṅganta yang sangat kaya raya. Kitab komentar menyebutkan bahwa brahmana ini memiliki kekayaan sebesar 560 koṭi (sekitar 5,6 miliar sesuai dengan mata uang India di zaman dahulu). Kepala desa ini mempunyai seorang istri yang bernama Rūpasārī. Diceritakan bahwa dewa yang di kemudian hari akan menjadi Y.A. Sāriputta meninggal dari alam dewa (devaloka) dan kemudian masuk ke dalam kandungan Rūpasārī.

Tidak jauh dari sana terdapat sebuah desa yang juga menjadi milik para brahmana, yaitu Kolitagāma atau desa Kolita. Penguasa desanya (gāmasāmino) adalah seorang brahmana—yang mempunyai kekayaan berimbang dengan Vaṅganta—yang mempunyai istri bernama Moggallānī. Murid kepala kedua meninggal dari alam surga dan lahir di kandungan Moggallānī di hari yang sama dengan murid kepala pertama. Diceritakan bahwa keduanya tidak hanya “memperoleh” kelahiran-kembali tetapi juga “keluar dari kandungan” pada hari yang sama.

Tiap-tiap dari mereka kemudian diberi nama Upatissa karena lahir di desa Upatissa; sedangkan yang lain diberi nama Kolita karena lahir di desa Kolita. Mereka berdua adalah teman bermain dengan debu (sahapaṃsuṃ kīḷantā) bersama-sama sejak kanak-kanak hingga remaja, bahkan setelah menjadi Arahat pun mereka tetap merupakan teman yang sangat dekat.

Hal menarik lainnya adalah tiap-tiap murid utama ini disukai oleh banyak temannya dan diceritakan bahwa mereka mempunyai pengikut sebanyak 500 brahmana yang masih muda (pañcapañcamāṇavakasatāni parivārā).

Pada waktu itu di Rājagaha ada (pesta) yang dinamakan festival rutin yang diadakan dari waktu ke waktu di tengah kota. Festival atau pesta rakyat ini diadakan selama sepekan atau satu minggu penuh.
Kemudian, dua sahabat tersebut pergi ke sana dengan disertai oleh para pengikutnya dan duduk di kursi yang telah disiapkan. Tidak lama kemudian, ketika melihat keindahan pesta dan melihat ke arah kerumunan orang banyak, dia merenungkan, "Tanpa mencapai seratus tahun, kumpulan manusia sebanyak ini akan mati." Sungguh merupakan sebuah perenungan yang sangat bijaksana.

Upatissa merenungkan seperti itu karena pada waktu itu beliau seolah-olah merasa kematian sudah benar-benar berada di depan mata beliau. Beliau merasa bahwa kehidupan beliau sudah tidak akan lama lagi. Setelah pesta usai beliau bertanya kepada Kolita tentang kesan-kesan dia selama menikmati festival tadi dan ternyata sahabatnya juga merasakan hal yang sama dengan apa yang dia rasakan. Hati mereka berdua sudah tidak tertarik lagi bahkan kepada para penari yang sedang mempertontonkan keahlian mereka. Mereka merasa kehidupan ini tidak aman. Kepuasan dan kenikmatan pancaindra ternyata bukanlah sesuatu yang bisa mereka nikmati selama-lamanya.

Saṃvega (ketergugahan-hati) muncul di hati mereka berdua ketika festival selesai. Di perjalanan, Kolita bertanya kepada Upatissa mengapa dirinya tidak menikmati pertunjukan para penari dan lainnya. Upatissa kemudian juga menyampaikan kepada Kolita tentang hal yang muncul di pikiran beliau sebelumnya, yaitu beliau merasa bahwa 100 tahun lagi mereka semua akan mati dan beliau merasa bahwa kematian sudah ada di depan mata. Ternyata mereka berdua mempunyai kesan dan pandangan yang sama. Kemudian Kolita berkata kepada Upatissa; “Teman, setelah meninggalkan kehidupan rumah tangga, mari kita mencari 'keadaaan tanpa-kematian'.” “Baik, teman,” Upatissa menerima ajakan tersebut.

Kemudian keduanya melepaskan kekayaannya dan tiba di Rajāgaha. Pada zaman Buddha Gotama ada enam orang guru spiritual. Salah satu dari enam guru spiritual yang cukup terkenal dan mempunyai banyak pengikut adalah seorang pertapa pengembara yang bernama Sañjaya atau Sañcaya (sañcayo nāma paribbājako). Kebetulan Sañcaya pada waktu itu sedang singgah di Rājagaha bersama dengan 500 pengikutnya. Singkat cerita, kedua sahabat tadi lalu menjadi murid Sañcaya. Dalam waktu hanya beberapa hari, mereka berdua telah menguasai tiga kitab Veda dan semua ajaran pertapa pengembara tersebut. Hal ini terjadi dikarenakan pāramī mereka yang sudah penuh hingga hanya dalam waktu beberapa hari (katipāha) semua pelajaran telah dikuasai oleh mereka.

Bersambung…

Sumber: Ashin Kheminda, Buku Kompilasi Ceramah tentang SUTTANTA,
Dhammavihārī Buddhist Studies, Jakarta, 2019. Hlm 147-151