Nāvā Sutta 320

14 Oct 2019

No.42/II/Okt/2019

320) Akan tetapi apabila berlatih dengan seseorang yang bodoh dan rendah, penuh dengan kedengkian dan belum mencapai (tujuan); tidak memahami Dhamma di sini; belum melenyapkan keraguan, seseorang mengalami kematian.

Jadi, setelah memuji pelayanan/pergaulan dengan seorang guru yang bijaksana; sekarang Buddha—mencela pergaulan dengan seorang guru yang bodoh—mengatakan di syair ini, “bodoh dan rendah.”

Sehubungan dengan hal tersebut, [seseorang] disebut rendah karena dia penuh dengan kamma tubuh dan lain-lain yang rendah; [disebut] bodoh karena tiadanya kebijaksanaan.

Seseorang yang bodoh adalah seseorang yang tidak mempunyai kebijaksanaan dan tidak mempunyai pengetahuan pariyatti; tidak tahu bahwa manusia hanyalah gabungan dari nāma dan rūpa (batin & jasmani), tidak tahu bahwa benturan antara pancaindra dan objeknya terjadi karena adanya sebab dan kondisi, tidak tahu bahwa karakteristik dari saṃsāra adalah anicca, dukkha dan anatta, tidak tahu bahwa di alam mana pun selama masih berada di dalam saṃsāra maka di sana ada penderitaan dan tidak tahu bahwa ada keadaan lain di luar saṃsāra yang menjadi tujuan kita semua.

Hal-hal seperti inilah yang masuk ke dalam kategori bodoh. Tiada kebijaksanaan pariyatti (kebijaksanaan teori), tidak ada kebijaksanaan paṭipatti (kebijaksanaan praktik meditasi), apalagi kebijaksanaan paṭivedha (kebijaksanaan tentang penembusan Empat Kebenaran Mulia).

Yang dimaksud dengan belum mencapai (tujuan) adalah [guru tersebut] belum mencapai tujuan akhir (dalam hal) pariyatti dan paṭivedha. Yang dimaksud dengan seorang yang penuh dengan kedengkian adalah seorang yang tidak tahan (melihat) kemajuan muridnya karena sifat dengki yang dimiliki. Sungguh aneh bukan? Ada guru yang malah tidak suka melihat muridnya berkembang, guru yang demikian adalah guru yang penuh kedengkian.

Jadi sekarang kita sudah tahu makna bodoh dan rendah. Guru yang rendah artinya guru yang memiliki kualitas yang rendah. Kitab komentar menjelaskan guru yang demikian sebagai seorang guru yang memiliki banyak jubah dan banyak perlengkapan tetapi dia tidak mau membagikannya kepada muridnya. Jika jubah saja dia tidak mau berbagi, apalagi ajaran. Ada sesuatu yang disembunyikan dan digenggam di tangannya supaya muridnya tidak tahu. Dia tidak ingin muridnya lebih pandai dari dirinya. Dia tidak mau mengajarkan Dhamma kepada muridnya, bahkan hanya mengatakan bahwa segala sesuatu anicca, dukkha dan anatta pun dia tidak mau. Demikianlah yang disebutkan di dalam kitab komentar.

Kitab komentar menyebutkan bila murid yang demikian itu—yang bergaul dengan guru yang bodoh—akan juga ikut menjadi bodoh, seperti halnya daun yang dipakai untuk membungkus ikan yang busuk. Bila seseorang membungkus ikan yang busuk dengan daun yang segar, maka lama-kelamaan daun tersebut pun akan ikut berbau busuk. Guru yang bodoh seperti ikan busuk, dan murid yang berkumpul dengan guru yang bodoh ibarat daun yang dipakai untuk membungkus ikan busuk tadi. Gurunya busuk maka muridnya pun ikut busuk. Bahasanya kelihatan keras tetapi ini ada di kitab komentar.

Intinya orang bodoh bisa menyebabkan bencana, kesulitan dan penderitaan. Pemahaman untuk hal itu seperti ini: bukan berarti dia yang menyebabkan orang lain menderita tetapi berkumpul dengan orang bodoh ibarat sinar matahari, air, pupuk, kelembaban yang menyuburkan benih-benih kamma buruk kita sehingga kamma buruk kita berbuah. Sebaliknya berkumpul dengan orang bijaksana akan menyuburkan benih kamma baik kita. Seperti itulah pemahamannya—berkumpul dengan orang bijaksana akan membawa berkah keberuntungan; berkumpul dengan orang bodoh akan membawa bencana, kesulitan dan penderitaan.

Oleh karena itu, tidak memahami DhammaDhamma yang ada di kitab suci atau yang berkaitan dengan penembusan (pariyatti dan paṭivedha)— di sini, di sāsana (ajaran Buddha) ini; dan tidak memiliki pemahaman sedikit pun, dia mengalami kematian tanpa mengatasi keraguannya tentang Dhamma.

Kata di sini di kalimat di atas artinya di sāsana ini atau di ajaran ini. Jadi guru tersebut tidak memahami ajaran Buddha, tidak memahami yang ada di kitab suci atau yang berkaitan dengan pariyatti dan paṭivedha. Tanpa pernah memahami dua Dhammapariyatti dan paṭivedha—melalui kebijaksanaannya sendiri dan tanpa pernah mencermati makna dari mereka yang mempunyai banyak ilmu; dia tidak mengetahuinya sendiri karena memang belum memahaminya sendiri, dia belum melenyapkan keraguan karena dia belum pernah mendengarkannya; lalu bagaimana bisa dia menolong orang lain untuk mengalaminya; membantu orang lain untuk melihatnya? Jadi, dengan guru yang seperti itu maka akhirnya murid pun meninggal tanpa pernah menghancurkan keraguan.

Sumber: Ashin Kheminda, Buku Kompilasi Ceramah tentang SUTTANTA,
Dhammavihārī Buddhist Studies, Jakarta, 2019. Hlm 159-166