No.29/III/Mei/2019
115) “Setelah seorang yang bijaksana mempertimbangkan keruntuhan-keruntuhan ini dengan saksama, orang mulia yang memiliki ‘penglihatan,’ melanjutkan ke tempat yang aman.”
Yang dimaksud dengan orang yang bijaksana adalah orang yang memiliki kecermatan (parivīmaṃsāya samannāgato). Setelah mempertimbangkan atau memeriksa dengan menggunakan mata kebijaksanaan (paññācakkhunā upaparikkhitvā), ia mengetahui apa saja sebab-sebab keruntuhan atau kehancuran kehidupan. Sedangkan yang dimaksud dengan mulia adalah mulia bukan karena Jalan dan Buah tetapi karena tidak berperilaku yang bisa membawa ke kehancuran.
Yang dimaksud dengan yang memiliki penglihatan adalah seseorang yang memiliki penglihatan dan kebijaksanaan untuk menghindari sebab-sebab keruntuhan. Kemudian, yang dimaksud dengan melanjutkan ke tempat yang aman adalah seseorang yang demikian dikatakan pergi menuju, menempel, bergaul di alam dewa yang aman, tenteram, utama, tanpa kesusahan.
Dengan kata lain mereka yang bijaksana akan berperilaku baik dengan menghindari sebab-sebab keruntuhan sehingga akan lahir kembali di alam surga.
Di akhir khotbah, dewa dalam jumlah yang tidak terhingga—yang semuanya mendengarkan khotbah ini—berjuang dengan penuh kewaspadaan, didorong oleh ketergugahan-hati (saṃvega) yang telah muncul mencapai Buah sotāpatti, sakadāgamī dan anāgāmī.
Seperti halnya yang telah dikatakan: Di Mahāsamayasutta, Maṅgalasutta, Samacitta, Rāhulovāda, Dhammacakka dan Parābhava; para dewa yang berkumpul di sana tidak terhitung jumlahnya, tidak terhingga. Dan pemahaman Dhamma yang terjadi di sini tidak terhingga jumlahnya.”
Sumber: Ashin Kheminda, Buku Kompilasi Ceramah tentang SUTTANTA, Dhammavihārī Buddhist Studies, Jakarta, 2019. Hlm 97-98